Selasa, 09 Juli 2019

PERKEMBANGAN USAHA MIKRO KECIL, MENENGAH DAN KOPERASI


A. Perkembangan Koperasi
Perkembangan koperasi di Indonesia saat ini menunjukkan kinerja yang secara umum positif . Pada periode 2009 sampai 2013, jumlah unit dan anggota koperasi terus meningkat dengan rata-rata pertumbuhan unit sekitar 4,2 persen, dan anggota sebesar 4,1 persen. Rata-rata jumlah anggota pada tahun 2014 adalah sekitar 174 orang per koperasi. Di sisi lain, perkembangan tersebut menunjukkan kebutuhan yang tinggi terhadap pendampingan dalam penerapan prinsip-prinsip koperasi. Hal ini mengingat baru sekitar 54,3 persen dari koperasi aktif yang sudah melaksanakan rapat anggota tahunan (RAT) pada tahun 2014. Profesionalisme pengelolaan koperasi juga perlu ditingkatkan
Perkembangan usaha koperasi yang ditunjukkan dari aspek-aspek modal, volume usaha dan sisa hasil usaha (SHU) juga menunjukkan kinerja yang terus meningkat. Jumlah modal koperasi meningkat rata-rata sekitar 28,9 persen, yang utamanya didorong oleh peningkatan partisipasi anggota dalam memupuk modal koperasi secara mandiri. Kondisi ini mendorong perbaikan rasio modal sendiri dan modal luar koperasi, dan menjadi indikasi peningkatan kemandirian koperasi. Peningkatan SHU yang lebih tinggi dibandingkan dengan volume usaha menunjukkan perbaikan nilai kemanfaatan ekonomi koperasi, selain kemanfaatan dari layanan dan produk yang disediakan koperasi bagi anggotanya.
Berdasarkan kegiatan ekonomi, populasi koperasi terbesar terdapat di sektor tersier (78,0 persen), sedangkan proporsi koperasi di sektor primer dan sekunder masing-masing adalah sebesar 21,0 persen dan 1,0 persen. Sementara berdasarkan jenis, proporsi koperasi konsumen merupakan yang terbesar (Gambar I.2). Khusus untuk Koperasi Simpan Pinjam (KSP), perkembangannya menunjukkan peran yang semakin penting dalam mendukung keuangan inklusif di Indonesia. Jumlah KSP sampai dengan Oktober 2012 adalah sebanyak 8.761 unit dengan jumlah anggota lebih dari 2,9 juta orang. Di luar populasi KSP, terdapat 86.203 koperasi non KSP yang memiliki unit simpan pinjam (USP) yang melayani lebih dari 14,8 juta anggotanya. Layanan pembiayaan yang disediakan oleh USP pada koperasi serba usaha bahkan berperan sentral dalam mendukung keberlanjutan usaha-usaha produktif skala mikro dan kecil terutama di sektor pertanian, perikanan dan industri kecil di perdesaan. Sementara secara kewilayahan, perbandingan jumlah koperasi aktif antara Jawa dan Luar Jawa menunjukkan proporsi sebesar 52,2 persen koperasi aktif berada di Jawa dan 47,6 persen koperasi aktif berada di luar Jawa. Provinsi Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat memiliki jumlah koperasi aktif terbesar di wilayah Jawa dan Indonesia, sedangkan Provinsi Sumatera Utara, Sulawesi Selatan dan Bali memiliki jumlah koperasi aktif terbesar di Luar Jawa. Gambaran mengenai perkembangan koperasi tersebut menunjukkan kebutuhan terhadap kebijakan pemberdayaan koperasi yang difokuskan pada perbaikan penerapan prinsip-prinsip koperasi dan penguatan pengelolaan usaha koperasi. Peran aktif anggota koperasi juga perlu diperkuat dalam rangka mempercepat kemandirian koperasi. Koperasi juga dapat ditingkatkan kemampuannya untuk berkembang besar dan sejajar dengan bentuk bangun ekonomi lain tanpa harus meninggalkan jatidirinya. Peran koperasi sebagai kekuatan penyeimbang (countervailing power) perlu diperkuat dalam peningkatan kesejahteraan rakyat yang tidak hanya berorientasi pada aspek pertumbuhan saja namun juga pada aspek pemerataan. Upaya tersebut perlu dilengkapi dengan perbaikan kinerja koperasi berdasarkan bidang dan lokasi usahanya. Hal ini sangat penting dilakukan dalam rangka mendorong pertumbuhan koperasi untuk menjadi penggerak perekonomian khususnya di sentra-sentra produksi di luar Jawa.
B. Perkembangan UMKM
Peran usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) dalam perekonomian Indonesia ditunjukkan oleh populasinya sebagai pelaku usaha terbesar, serta kontribusinya dalam penyerapan tenaga kerja, pembentukan produk domestik bruto (PDB), ekspor dan penciptaan modal tetap/investasi . Ditinjau secara sektoral, sebagian besar UMKM bergerak di sektor primer (50,1 persen), dan sektor tersier (42,5 persen), dan sebagian kecil di sektor sekunder.
Kinerja UMKM secara umum cukup bervariasi dari tahun ke tahun. Kontribusi PDB UMKM mengalami tren penurunan dari 58,6 persen pada tahun 2008 menjadi 57,5 pada tahun 2012. Kondisi ini diakibatkan tingkat pertumbuhan output UMKM yang cenderung berfluktuasi dan masih lebih rendah dibandingkan dengan tingkat pertumbuhan output usaha besar. Variasi pertumbuhan PDB UMKM juga terjadi antar sektor. Dampak dari kondisi ini yaitu adanya kesenjangan tingkat produktivitas antara UMKM dengan usaha besar. Kondisi yang sama juga terjadi di sektor-sektor dimana UMKM merupakan pelaku usaha yang dominan seperti sektor pertanian dan perdagangan. Rendahnya produktivitas menjadi kendala bagi UMKM untuk berkembang dan mencapai skala ekonomi yang semakin besar. Kondisi ini menyebabkan fenomena missing middle, dimana perekonomian mengalami kekurangan jumlah usaha kecil dan menengah yang sebenarnya dibutuhkan untuk menopang industrialisasi dan ekspor. Kondisi ini juga mempengaruhi sejauh mana UMKM dapat berpartisipasi dalam jaringan produksi dan pemasaran global.
Berdasarkan tingkat produktivitas dan kebutuhan untuk meningkatkan populasi usaha kecil dan menengah, maka peningkatan produktivitas usaha mikro dijadikan sebagai target pemberdayaan UMKM ke depan. Perbaikan kapasitas dan produktivitas usaha mikro dapat dilakukan melalui penguatan aset, keterampilan dan keterhubungannya dengan jaringan usaha dan pemasaran dalam satu sistem bisnis yang mapan. Peningkatan kapasitas usaha mikro juga diharapkan dapat meningkatan pendapatan masyarakat secara umum yang selanjutnya akan berkontribusi pada pengurangan angka kemiskinan. Peran usaha kecil dan menengah juga perlu ditingkatkan dalam memperkuat basis produksi di dalam negeri, dan partisipasi di pasar ekspor dan investasi.
Kebijakan pemberdayaan UMKM ke depan juga diharapkan untuk semakin inklusif. Kebijakan UMKM perlu diarahkan untuk mendukung peningkatan nilai tambah dan produktivitas di sektor-sektor dengan populasi UMKM terbesar seperti sektor pertanian, perikanan, dan industri pengolahan. Pada saat yang sama, upaya pengembangan UMKM ke depan juga perlu mempertimbangkan kebutuhan akselerasi perkembangan ekonomi di wilayah luar Jawa, serta penangangan isu keterhubungan ekonomi antara kota dan desa. Pengembangan UMKM ke depan juga perlu menyediakan kesempatan yang sama bagi masyarakat, terlepas dari keragaman latar belakang termasuk gender dan keterbatasan kemampuan fisik, untuk mengembangkan usaha produktif dan meningkatkan kesejahteraannya
 sumber:
ONLINE : Renstra_Kementerian_Koperasi_dan_UKM_2015-2019%20(2).pdf

Tidak ada komentar:

Posting Komentar