A. Perkembangan Koperasi
Perkembangan koperasi di Indonesia saat ini menunjukkan kinerja
yang secara umum positif . Pada periode 2009 sampai 2013, jumlah unit dan
anggota koperasi terus meningkat dengan rata-rata pertumbuhan unit sekitar 4,2
persen, dan anggota sebesar 4,1 persen. Rata-rata jumlah anggota pada tahun
2014 adalah sekitar 174 orang per koperasi. Di sisi lain, perkembangan tersebut
menunjukkan kebutuhan yang tinggi terhadap pendampingan dalam penerapan
prinsip-prinsip koperasi. Hal ini mengingat baru sekitar 54,3 persen dari koperasi
aktif yang sudah melaksanakan rapat anggota tahunan (RAT) pada tahun 2014.
Profesionalisme pengelolaan koperasi juga perlu ditingkatkan
Perkembangan usaha koperasi yang ditunjukkan dari aspek-aspek
modal, volume usaha dan sisa hasil usaha (SHU) juga menunjukkan kinerja yang
terus meningkat. Jumlah modal koperasi meningkat rata-rata sekitar 28,9 persen,
yang utamanya didorong oleh peningkatan partisipasi anggota dalam memupuk modal
koperasi secara mandiri. Kondisi ini mendorong perbaikan rasio modal sendiri
dan modal luar koperasi, dan menjadi indikasi peningkatan kemandirian koperasi.
Peningkatan SHU yang lebih tinggi dibandingkan dengan volume usaha menunjukkan
perbaikan nilai kemanfaatan ekonomi koperasi, selain kemanfaatan dari layanan
dan produk yang disediakan koperasi bagi anggotanya.
Berdasarkan kegiatan ekonomi, populasi koperasi terbesar
terdapat di sektor tersier (78,0 persen), sedangkan proporsi koperasi di sektor
primer dan sekunder masing-masing adalah sebesar 21,0 persen dan 1,0 persen. Sementara
berdasarkan jenis, proporsi koperasi konsumen merupakan yang terbesar (Gambar
I.2). Khusus untuk Koperasi Simpan Pinjam (KSP), perkembangannya menunjukkan
peran yang semakin penting dalam mendukung keuangan inklusif di Indonesia.
Jumlah KSP sampai dengan Oktober 2012 adalah sebanyak 8.761 unit dengan jumlah
anggota lebih dari 2,9 juta orang. Di luar populasi KSP, terdapat 86.203
koperasi non KSP yang memiliki unit simpan pinjam (USP) yang melayani lebih
dari 14,8 juta anggotanya. Layanan pembiayaan yang disediakan oleh USP pada
koperasi serba usaha bahkan berperan sentral dalam mendukung keberlanjutan
usaha-usaha produktif skala mikro dan kecil terutama di sektor pertanian,
perikanan dan industri kecil di perdesaan. Sementara secara kewilayahan, perbandingan
jumlah koperasi aktif antara Jawa dan Luar Jawa menunjukkan proporsi sebesar
52,2 persen koperasi aktif berada di Jawa dan 47,6 persen koperasi aktif berada
di luar Jawa. Provinsi Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat memiliki jumlah
koperasi aktif terbesar di wilayah Jawa dan Indonesia, sedangkan Provinsi
Sumatera Utara, Sulawesi Selatan dan Bali memiliki jumlah koperasi aktif
terbesar di Luar Jawa. Gambaran mengenai perkembangan koperasi tersebut
menunjukkan kebutuhan terhadap kebijakan pemberdayaan koperasi yang difokuskan
pada perbaikan penerapan prinsip-prinsip koperasi dan penguatan
pengelolaan usaha koperasi. Peran aktif anggota koperasi juga perlu diperkuat
dalam rangka mempercepat kemandirian koperasi. Koperasi juga dapat ditingkatkan
kemampuannya untuk berkembang besar dan sejajar dengan bentuk bangun ekonomi
lain tanpa harus meninggalkan jatidirinya. Peran koperasi sebagai kekuatan
penyeimbang (countervailing power) perlu diperkuat dalam peningkatan
kesejahteraan rakyat yang tidak hanya berorientasi pada aspek pertumbuhan saja
namun juga pada aspek pemerataan. Upaya tersebut perlu dilengkapi dengan
perbaikan kinerja koperasi berdasarkan bidang dan lokasi usahanya. Hal ini
sangat penting dilakukan dalam rangka mendorong pertumbuhan koperasi untuk
menjadi penggerak perekonomian khususnya di sentra-sentra produksi di luar
Jawa.
B. Perkembangan UMKM
Peran usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) dalam perekonomian
Indonesia ditunjukkan oleh populasinya sebagai pelaku usaha terbesar, serta
kontribusinya dalam penyerapan tenaga kerja, pembentukan produk domestik bruto
(PDB), ekspor dan penciptaan modal tetap/investasi . Ditinjau secara sektoral,
sebagian besar UMKM bergerak di sektor primer (50,1 persen), dan sektor tersier
(42,5 persen), dan sebagian kecil di sektor sekunder.
Kinerja UMKM secara umum cukup bervariasi dari tahun ke tahun.
Kontribusi PDB UMKM mengalami tren penurunan dari 58,6 persen pada tahun 2008
menjadi 57,5 pada tahun 2012. Kondisi ini diakibatkan tingkat pertumbuhan
output UMKM yang cenderung berfluktuasi dan masih lebih rendah dibandingkan
dengan tingkat pertumbuhan output usaha besar. Variasi pertumbuhan PDB UMKM
juga terjadi antar sektor. Dampak dari kondisi ini yaitu adanya kesenjangan
tingkat produktivitas antara UMKM dengan usaha besar. Kondisi yang sama juga
terjadi di sektor-sektor dimana UMKM merupakan pelaku usaha yang dominan
seperti sektor pertanian dan perdagangan. Rendahnya produktivitas menjadi
kendala bagi UMKM untuk berkembang dan mencapai skala ekonomi yang semakin
besar. Kondisi ini menyebabkan fenomena missing middle, dimana perekonomian
mengalami kekurangan jumlah usaha kecil dan menengah yang sebenarnya dibutuhkan
untuk menopang industrialisasi dan ekspor. Kondisi ini juga mempengaruhi sejauh
mana UMKM dapat berpartisipasi dalam jaringan produksi dan pemasaran global.
Berdasarkan tingkat produktivitas dan kebutuhan untuk
meningkatkan populasi usaha kecil dan menengah, maka peningkatan produktivitas
usaha mikro dijadikan sebagai target pemberdayaan UMKM ke depan. Perbaikan
kapasitas dan produktivitas usaha mikro dapat dilakukan melalui penguatan aset,
keterampilan dan keterhubungannya dengan jaringan usaha dan pemasaran dalam
satu sistem bisnis yang mapan. Peningkatan kapasitas usaha mikro juga
diharapkan dapat meningkatan pendapatan masyarakat secara umum yang selanjutnya
akan berkontribusi pada pengurangan angka kemiskinan. Peran usaha kecil dan
menengah juga perlu ditingkatkan dalam memperkuat basis produksi di dalam
negeri, dan partisipasi di pasar ekspor dan investasi.
Kebijakan pemberdayaan UMKM ke depan juga diharapkan untuk
semakin inklusif. Kebijakan UMKM perlu diarahkan untuk mendukung peningkatan
nilai tambah dan produktivitas di sektor-sektor dengan populasi UMKM terbesar
seperti sektor pertanian, perikanan, dan industri pengolahan. Pada saat yang
sama, upaya pengembangan UMKM ke depan juga perlu mempertimbangkan kebutuhan
akselerasi perkembangan ekonomi di wilayah luar Jawa, serta penangangan isu
keterhubungan ekonomi antara kota dan desa. Pengembangan UMKM ke depan juga
perlu menyediakan kesempatan yang sama bagi masyarakat, terlepas dari keragaman
latar belakang termasuk gender dan keterbatasan kemampuan fisik, untuk
mengembangkan usaha produktif dan meningkatkan kesejahteraannya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar