·
Sejarah
Pra Kolonialisme
Sebelum
merdeka, Indonesia mengalami masa penjajahan yang terbagi dalam beberapa
periode. Ada empat negara yang pernah menduduki Indonesia, yaitu Portugis,
Belanda,Inggris, dan Jepang. Portugis tidak meninggalkan jejak yang mendalam di
Indonesia karena keburu diusir oleh Belanda, tapi Belanda yang kemudian
berkuasa selama sekitar 350 tahun, sudah menerapkan berbagai sistem yang masih
tersisa hingga kini.
Untuk
menganalisa sejarah perekonomian Indonesia, rasanya perlu membagi masa
pendudukan Belanda menjadi beberapa periode, berdasarkan perubahan-perubahan
kebijakan yang mereka berlakukan di Hindia Belanda (sebutan untuk Indonesia
saat itu).
·
Sistem
Monopoli Dangang Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC)
Belanda
yang saat itu menganut paham Merkantilis benar-benar menancapkan kukunya di
Hindia Belanda. Belanda melimpahkan wewenang untuk mengatur Hindia Belanda
kepada VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie), sebuah perusahaan yang
didirikan dengan tujuan untuk menghindari persaingan antar sesama pedagang
Belanda, sekaligus untuk menyaingi perusahaan imperialis lain seperti EIC (Inggris).
Untuk
mempermudah aksinya di Hindia Belanda, VOC diberi hak Octrooi, yang antara lain
meliputi :
1. Hak mencetak uang
2. Hak mengangkat dan memberhentikan pegawai
3. Hak menyatakan perang dan damai
4. Hak untuk membuat angkatan bersenjata
sendiri
5. Hak untuk membuat perjanjian dengan
raja-rajaHak-hak itu seakan melegalkan keberadaan VOC sebagai “penguasa” Hindia
Belanda.
Namun
walau demikian, tidak berarti bahwa seluruh ekonomi Nusantara telah dikuasai
VOC. Kenyataannya, sejak tahun 1620, VOC hanya menguasai komoditi-komoditi
ekspor sesuai permintaan pasar di Eropa, yaitu rempah-rempah. Kota-kota dagang
dan jalur-jalur pelayaran yang dikuasainya adalah untuk menjamin monopoli atas
komoditi itu. VOC juga belum membangun sistem pasokan kebutuhan-kebutuhan hidup
penduduk pribumi. Peraturan-peraturan yang ditetapkan VOC seperti verplichte
leverentie (kewajiban meyerahkan hasil bumi pada VOC ) dan contingenten (pajak
hasil bumi) dirancang untuk mendukung monopoli itu. Disamping itu, VOC juga
menjaga agar harga rempah-rempah tetap tinggi, antara lain dengan diadakannya
pembatasan jumlah tanaman rempah-rempah yang boleh ditanam penduduk, pelayaran
Hongi dan hak extirpatie (pemusnahan tanaman yang jumlahnya melebihi peraturan).
Semua aturan itu pada umumnya hanya diterapkan di Maluku yang memang sudah
diisolasi oleh VOC dari pola pelayaran niaga samudera Hindia.
Dengan
memonopoli rempah-rempah, diharapkan VOC akan menambah isi kas negri Belanda,
dan dengan begitu akan meningkatkan pamor dan kekayaan Belanda. Disamping itu
juga diterapkan Preangerstelstel, yaitu kewajiban menanam tanaman kopi bagi
penduduk Priangan. Bahkan ekspor kopi di masa itu mencapai 85.300 metrik ton,
melebihi ekspor cengkeh yang Cuma 1.050 metrik ton. Namun, berlawanan dengan
kebijakan merkantilisme Perancis yang melarang ekspor logam mulia, Belanda
justru mengekspor perak ke Hindia Belanda untuk ditukar dengan hasil bumi.
Karena selama belum ada hasil produksi Eropa yang dapat ditawarkan sebagai komoditi
imbangan,ekspor perak itu tetap perlu dilakukan. Perak tetap digunakan dalam
jumlah besar sebagai alat perimbangan dalam neraca pembayaran sampai tahun
1870-an.
Pada
tahun 1795, VOC bubar karena dianggap gagal dalam mengeksplorasi kekayaan
Hindia Belanda. Kegagalan itu nampak pada defisitnya kas VOC, yang antara lain
disebabkan oleh :
a) Peperangan
yang terus-menerus dilakukan oleh VOC dan memakan biaya besar, terutama perang
Diponegoro.
b) Penggunaan
tentara sewaan membutuhkan biaya besar.
c) Korupsi
yang dilakukan pegawai VOC sendiri.
d) Pembagian
dividen kepada para pemegang saham, walaupun kas defisit. Maka, VOC
diambil-alih (digantikan) oleh Republik Bataaf (Bataafsche Republiek).
Republik
Bataaf dihadapkan pada suatu sistem keuangan yang kacau balau. Selain karena
peperangan sedang berkecamuk di Eropa (Continental stelstel oleh Napoleon),
kebobrokan bidang moneter sudah mencapai puncaknya sebagai akibat
ketergantungan akan impor perak dari Belanda di masa VOC yang kini terhambat
oleh blokade Inggris di Eropa. Sebelum republik Bataaf mulai berbenah, Inggris
mengambil alih pemerintahan di Hindia Belanda.
·
Sistem
Tanah Paksa
Cultuurstelstel
(sistem tanam paksa) mulai diberlakukan pada tahun 1836 atas inisiatif Van Den
Bosch. Tujuannya adalah untuk memproduksi berbagai komoditi yang ada
permintaannya di pasaran dunia. Sejak saat itu, diperintahkan pembudidayaan
produk-produk selain kopi dan rempah-rempah, yaitu gula, nila, tembakau, teh,
kina, karet, kelapa sawit, dll. Sistem ini jelas menekan penduduk pribumi, tapi
amat menguntungkan bagi Belanda, apalagi dipadukan dengan sistem konsinyasi
(monopoli ekspor). Setelah penerapan kedua sistem ini, seluruh kerugian akibat
perang dengan Napoleon di Belanda langsung tergantikan berkali lipat.
Sistem
ini merupakan pengganti sistem landrent dalam rangka memperkenalkan penggunaan
uang pada masyarakat pribumi. Masyarakat diwajibkan menanam tanaman komoditas
ekspor dan menjual hasilnya ke gudang-gudang pemerintah untuk kemudian dibayar
dengan harga yang sudah ditentukan oleh pemerintah. Cultuurstelstel melibatkan
para bangsawan dalam pengumpulannya, antara lain dengan memanfaatkan tatanan politik
Mataram–yaitu kewajiban rakyat untuk melakukan berbagai tugas dengan tidak
mendapat imbalan–dan memotivasi para pejabat Belanda dengan cultuurprocenten
(imbalan yang akan diterima sesuai dengan hasil produksi yang masuk gudang).
Bagi
masyarakat pribumi, sudah tentu cultuurstelstel amat memeras keringat dan darah
mereka, apalagi aturan kerja rodi juga masih diberlakukan. Namun segi
positifnya adalah, mereka mulai mengenal tata cara menanam tanaman komoditas
ekspor yang pada umumnya bukan tanaman asli Indonesia, dan masuknya ekonomi
uang di pedesaan yang memicu meningkatnya taraf hidup mereka. Bagi pemerintah
Belanda, ini berarti bahwa masyarakat sudah bisa menyerap barang-barang impor
yang mereka datangkan ke Hindia Belanda. Dan ini juga merubah cara hidup
masyarakat pedesaan menjadi lebih komersial, tercermin dari meningkatnya jumlah
penduduk yang melakukan kegiatan ekonomi nonagraris.
Jelasnya,
dengan menerapkan cultuurstelstel, pemerintah Belanda membuktikan teori sewa
tanah dari mazhab klasik, yaitu bahwa sewa tanah timbul dari keterbatasan
kesuburan tanah. Namun disini, pemerintah Belanda hanya menerima sewanya saja,
tanpa perlu mengeluarkan biaya untuk menggarap tanah yang kian lama kian besar.
Biaya yang kian besar itu meningkatkan penderitaan rakyat, sesuai teori nilai
lebih (Karl Marx), bahwa nilai leih ini meningkatkan kesejahteraan Belanda
sebagai kapitalis.
·
Sistem
Ekonomi Pintu Terbuka (Liberal)
Adanya
desakan dari kaum Humanis Belanda yang menginginkan perubahan nasib warga
pribumi ke arah yang lebih baik, mendorong pemerintah Hindia Belanda untuk
mengubah kebijakan ekonominya. Dibuatlah peraturan-peraturan agraria yang baru,
yang antara lain mengatur tentang penyewaan tanah pada pihak swasta untuk
jangka 75 tahun, dan aturan tentang tanah yang boleh disewakan dan yang tidak
boleh. Hal ini nampaknya juga masih tak lepas dari teori-teori mazhab klasik,
antara lain terlihat pada :
a) Keberadaan
pemerintah Hindia Belanda sebagai tuan tanah, pihak swasta yang mengelola
perkebunan swasta sebagai golongan kapitalis, dan masyarakat pribumi sebagai
buruh penggarap tanah.
b) Prinsip
keuntungan absolut : Bila di suatu tempat harga barang berada diatas ongkos
tenaga kerja yang dibutuhkan, maka pengusaha memperoleh laba yang besar dan
mendorong mengalirnya faktor produksi ke tempat tersebut.
c) Laissez
faire laissez passer, perekonomian diserahkan pada pihak swasta, walau jelas,
pemerintah Belanda masih memegang peran yang besar sebagai penjajah yang
sesungguhnya.
Pada
akhirnya, sistem ini bukannya meningkatkan kesejahteraan masyarakat pribumi,
tapi malah menambah penderitaan, terutama bagi para kuli kontrak yang pada
umumnya tidak diperlakukan layak.
·
Pendudukan
Jepang (1942-1945)
Pemerintah
militer Jepang menerapkan suatu kebijakan pengerahan sumber daya ekonomi
mendukung gerak maju pasukan Jepang dalam perang Pasifik. Sebagai akibatnya,
terjadi perombakan besar-besaran dalam struktur ekonomi masyarakat.
Kesejahteraan rakyat merosot tajam dan terjadi bencana kekurangan pangan, karena
produksi bahan makanan untuk memasok pasukan militer dan produksi minyak jarak
untuk pelumas pesawat tempur menempati prioritas utama. Impor dan ekspor macet,
sehingga terjadi kelangkaan tekstil yang sebelumnya didapat dengan jalan impor.
Seperti ini lah sistem sosialis ala bala tentara Dai Nippon. Segala hal diatur
oleh pusat guna mencapai kesejahteraan bersama yang diharapkan akan tercapai
seusai memenangkan perang Pasifik.
·
Cita-cita
Ekonomi Merdeka
Sistem
Ekonomi Kerakyatan mangacu pada nilai-nilai Pancasila sebagai sistem nilai bangsa
Indonesia yang tujuannya adalah mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia dengan salah satu unsur intrinsiknya adalah Ekonomi Pancasila
(Mubyarto: 2002) yang nilai-nilai dasar sebagai berikut
a) Ketuhanan,
di mana “roda kegiatan ekonomi bangsa digerakkan oleh rangsangan ekonomi,
sosial, dan moral”.
b) Kemanusiaan, yaitu : “kemerataan sosial, yaitu
ada kehendak kuat warga masyarakat untuk mewujudkan kemerataan sosial, tidak membiarkan terjadi
dan berkembangnya ketimpangan ekonomi dan kesenjangan sosial”.
c) Kepentingan
Nasional (Nasionalisme Ekonomi), di mana “nasionalisme ekonomi; bahwa dalam era
globalisasi makin jelas adanya urgensi terwujudnya perekonomian nasional yang
kuat, tangguh, dan mandiri.
d) Kepentingan
Rakyat Banyak (Demokrasi ekonomi) : “demokrasi ekonomi berdasar kerakyatan dan
kekeluargaan; koperasi dan usaha-usaha kooperatif menjiwai perilaku ekonomi
perorangan dan masyarakat”.
Keadilan
Sosial, yaitu : “keseimbangan yang harmonis, efisien, dan adil antara
perencanaan nasional dengan desentralisasi ekonomi dan otonomi yang luas,
bebas, dan bertanggungjawab, menuju pewujudan keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia”.
·
Perekonomian
Pada Masa Orde Lama
Masa
Pasca Kemerdekaan (1945-1950). Keadaan ekonomi keuangan pada masa awal
kemerdekaan amat buruk, antara lain disebabkan oleh :
Inflasi
yang sangat tinggi, disebabkan karena beredarnya lebih dari satu mata uang
secara tidak terkendali. Pada waktu itu, untuk sementara waktu pemerintah RI
menyatakan tiga mata uang yang berlaku di wilayah RI, yaitu mata uang De
Javasche Bank, mata uang pemerintah Hindia Belanda, dan mata uang pendudukan
Jepang. Kemudian pada tanggal 6 Maret 1946, Panglima AFNEI (Allied Forces for
Netherlands East Indies/pasukan sekutu) mengumumkan berlakunya uang NICA di
daerah-daerah yang dikuasai sekutu. Pada bulan Oktober 1946, pemerintah RI juga
mengeluarkan uang kertas baru, yaitu ORI (Oeang Republik Indonesia) sebagai
pengganti uang Jepang. Berdasarkan teori moneter, banyaknya jumlah uang yang
beredar mempengaruhi kenaikan tingkat harga.
Adanya
blokade ekonomi oleh Belanda sejak bulan November 1945 untuk menutup pintu
perdagangan luar negeri RI. Kas negara kosong, eksploitasi besar-besaran di
masa penjajahan. Usaha-usaha yang dilakukan untuk mengatasi kesulitan-kesulitan
ekonomi, antara lain :
Program
Pinjaman Nasional dilaksanakan oleh menteri keuangan Ir. Surachman dengan
persetujuan BP-KNIP, dilakukan pada bulan Juli 1946. Upaya menembus blokade
dengan diplomasi beras ke India, mangadakan kontak dengan perusahaan swasta
Amerika, dan menembus blokade Belanda di Sumatera dengan tujuan ke Singapura
dan Malaysia.
Konferensi
Ekonomi Februari 1946 dengan tujuan untuk memperoleh kesepakatan yang bulat
dalam menanggulangi masalah-masalah ekonomi yang mendesak, yaitu : masalah
produksi dan distribusi makanan, masalah sandang, serta status dan administrasi
perkebunan-perkebunan.
Pembentukan
Planning Board (Badan Perancang Ekonomi) 19 Januari 1947 Rekonstruksi dan
Rasionalisasi Angkatan Perang (Rera) 1948 mengalihkan tenaga bekas angkatan
perang ke bidang-bidang produktif. Kasimo Plan yang intinya mengenai usaha
swasembada pangan dengan beberapa petunjuk pelaksanaan yang praktis. Dengan
swasembada pangan, diharapkan perekonomian akan membaik (Mazhab Fisiokrat :
sektor pertanian merupakan sumber kekayaan).
·
Masa Demokrasi Liberal (1950-1957)
Masa
ini disebut masa liberal, karena dalam politik maupun sistem ekonominya
menggunakan prinsip-prinsip liberal. Perekonomian diserahkan pada pasar sesuai
teori-teori mazhab klasik yang menyatakan laissez faire laissez passer. Padahal
pengusaha pribumi masih lemah dan belum bisa bersaing dengan pengusaha
nonpribumi, terutama pengusaha Cina. Pada akhirnya sistem ini hanya memperburuk
kondisi perekonomian Indonesia yang baru merdeka. Usaha-usaha yang dilakukan
untuk mengatasi masalah ekonomi, antara lain :
1. Gunting
Syarifuddin, yaitu pemotongan nilai uang (sanering) 20 Maret 1950, untuk
mengurangi jumlah uang yang beredar agar tingkat harga turun.
2. Program
Benteng (Kabinet Natsir), yaitu upaya menunbuhkan wiraswastawan pribumi dan
mendorong importir nasional agar bisa bersaing dengan perusahaan impor asing
dengan membatasi impor barang tertentu dan memberikan lisensi impornya hanya
pada importir pribumi serta memberikan kredit pada perusahaan-perusahaan
pribumi agar nantinya dapat berpartisipasi dalam perkembangan ekonomi nasional.
Namun usaha ini gagal, karena sifat pengusaha pribumi yang cenderung konsumtif
dan tak bisa bersaing dengan pengusaha non-pribumi.
3. Nasionalisasi
De Javasche Bank menjadi Bank Indonesia pada 15 Desember 1951 lewat UU no.24 th
1951 dengan fungsi sebagai bank sentral dan bank sirkulasi.
4. Sistem
ekonomi Ali-Baba (kabinet Ali Sastroamijoyo I) yang diprakarsai Mr Iskak
Cokrohadisuryo, yaitu penggalangan kerjasama antara pengusaha cina dan
pengusaha pribumi. Pengusaha non-pribumi diwajibkan memberikan latihan-latihan
pada pengusaha pribumi, dan pemerintah menyediakan kredit dan lisensi bagi
usaha-usaha swasta nasional. Program ini tidak berjalan dengan baik, karena
pengusaha pribumi kurang berpengalaman, sehingga hanya dijadikan alat untuk
mendapatkan bantuan kredit dari pemerintah.
5. Pembatalan
sepihak atas hasil-hasil KMB, termasuk pembubaran Uni Indonesia-Belanda.
Akibatnya banyak pengusaha Belanda yang menjual perusahaannya sedangkan
pengusaha-pengusaha pribumi belum bisa mengambil alih perusahaan-perusahaan
tersebut.
·
Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1967)
Sebagai
akibat dari dekrit presiden 5 Juli 1959, maka Indonesia menjalankan sistem
demokrasi terpimpin dan struktur ekonomi Indonesia menjurus pada sistem
etatisme (segala-galanya diatur oleh pemerintah). Dengan sistem ini, diharapkan
akan membawa pada kemakmuran bersama dan persamaan dalam sosial, politik,dan
ekonomi (Mazhab Sosialisme). Akan tetapi, kebijakan-kebijakan ekonomi yang
diambil pemerintah di masa ini belum mampu memperbaiki keadaan ekonomi
Indonesia, antara lain :
a. Devaluasi yang diumumkan pada 25 Agustus
1959 menurunkan nilai uang sebagai berikut :Uang kertas pecahan Rp 500 menjadi
Rp 50, uang kertas pecahan Rp 1000 menjadi Rp 100, dan semua simpanan di bank
yang melebihi 25.000 dibekukan..
b. Pembentukan Deklarasi Ekonomi (Dekon) untuk
mencapai tahap ekonomi sosialis Indonesia dengan cara terpimpin. Dalam
pelaksanaannya justru mengakibatkan stagnasi bagi perekonomian Indonesia.
Bahkan pada 1961-1962 harga barang-baranga naik 400%.
c. Devaluasi yang dilakukan pada 13 Desember
1965 menjadikan uang senilai Rp 1000 menjadi Rp 1. Sehingga uang rupiah baru
mestinya dihargai 1000 kali lipat uang rupiah lama, tapi di masyarakat uang
rupiah baru hanya dihargai 10 kali lipat lebih tinggi. Maka tindakan pemerintah
untuk menekan angka inflasi ini malah meningkatkan angka inflasi.
Kegagalan-kegagalan dalam berbagai tindakan moneter itu diperparah karena
pemerintah tidak menghemat pengeluaran-pengeluarannya. Pada masa ini banyak
proyek-proyek mercusuar yang dilaksanakan pemerintah, dan juga sebagai akibat
politik konfrontasi dengan Malaysia dan negara-negara Barat. Sekali lagi, ini
juga salahsatu konsekuensi dari pilihan menggunakan sistem demokrasi terpimpin
yang bisa diartikan bahwa Indonesia berkiblat ke Timur (sosialis) baik dalam
politik, eonomi, maupun bidang-bidang lain.
·
Perekonomian
Pada Masa Orde Baru
Pada
awal orde baru, stabilisasi ekonomi dan stabilisasi politik menjadi prioritas
utama. Program pemerintah berorientasi pada usaha pengendalian inflasi,
penyelamatan keuangan negara dan pengamanan kebutuhan pokok rakyat.
Pengendalian inflasi mutlak dibutuhkan, karena pada awal 1966 tingkat inflasi
kurang lebih 650 % per tahun.
Setelah melihat pengalaman masa lalu, dimana
dalam sistem ekonomi liberal ternyata pengusaha pribumi kalah bersaing dengan
pengusaha nonpribumi dan sistem etatisme tidak memperbaiki keadaan, maka
dipilihlah sistem ekonomi campuran dalam kerangka sistem ekonomi demokrasi
pancasila. Ini merupakan praktek dari salahsatu teori Keynes tentang campur
tangan pemerintah dalam perekonomian secara terbatas. Jadi, dalam
kondisi-kondisi dan masalah-masalah tertentu, pasar tidak dibiarkan menentukan
sendiri. Misalnya dalam penentuan UMR dan perluasan kesempatan kerja. Ini
adalah awal era Keynes di Indonesia. Kebijakan-kebijakan pemerintah mulai
berkiblat pada teori-teori Keynesian.
Kebijakan
ekonominya diarahkan pada pembangunan di segala bidang, tercermin dalam 8 jalur
pemerataan : kebutuhan pokok, pendidikan dan kesehatan, pembagian pendapatan,
kesempatan kerja, kesempatan berusaha, partisipasi wanita dan generasi muda,
penyebaran pembangunan, dan peradilan. Semua itu dilakukan dengan pelaksanaan
pola umum pembangunan jangka panjang (25-30 tahun) secara periodik lima tahunan
yang disebut Pelita (Pembangunan lima tahun). Hasilnya, pada tahun 1984
Indonesia berhasil swasembada beras, penurunan angka kemiskinan, perbaikan
indikator kesejahteraan rakyat seperti angka partisipasi pendidikan dan
penurunan angka kematian bayi, dan industrialisasi yang meningkat pesat.
Pemerintah juga berhasil menggalakkan preventive checks untuk menekan jumlah
kelahiran lewat KB dan pengaturan usia minimum orang yang akan menikah.
Namun
dampak negatifnya adalah kerusakan serta pencemaran lingkungan hidup dan
sumber-sumber daya alam, perbedaan ekonomi antar daerah, antar golongan
pekerjaan dan antar kelompok dalam masyarakat terasa semakin tajam, serta
penumpukan utang luar negeri. Disamping itu, pembangunan menimbulkan
konglomerasi dan bisnis yang sarat korupsi, kolusi dan nepotisme. Pembangunan
hanya mengutamakan pertumbuhan ekonomi tanpa diimbangi kehidupan politik,
ekonomi, dan sosial yang adil. Sehingga meskipun berhasil meningkatkan
pertumbuhan ekonomi, tapi secara fundamental pembangunan nasional sangat rapuh.
Akibatnya, ketika terjadi krisis yang merupakan imbas dari ekonomi global,
Indonesia merasakan dampak yang paling buruk. Harga-harga meningkat secara
drastis, nilai tukar rupiah melemah dengan cepat, dan menimbulkan berbagai
kekacauan di segala bidang, terutama ekonomi.
·
Sejarah
Perekonomian Indonesia Pada Masa Reformasi
Pemerintahan
presiden BJ.Habibie yang mengawali masa reformasi belum melakukan
manuver-manuver yang cukup tajam dalam bidang ekonomi. Kebijakan-kebijakannya
diutamakan untuk mengendalikan stabilitas politik. Pada masa kepemimpinan
presiden Abdurrahman Wahid pun, belum ada tindakan yang cukup berarti untuk
menyelamatkan negara dari keterpurukan. Padahal, ada berbagai persoalan ekonomi
yang diwariskan orde baru harus dihadapi, antara lain masalah KKN (Korupsi, Kolusi
dan Nepotisme), pemulihan ekonomi, kinerja BUMN, pengendalian inflasi, dan
mempertahankan kurs rupiah. Malah presiden terlibat skandal Bruneigate yang
menjatuhkan kredibilitasnya di mata masyarakat. Akibatnya, kedudukannya
digantikan oleh presiden Megawati.
Masa
kepemimpinan Megawati Soekarnoputri Masalah-masalah yang mendesak untuk
dipecahkan adalah pemulihan ekonomi dan penegakan hukum. Kebijakan-kebijakan
yang ditempuh untuk mengatasi persoalan-persoalan ekonomi antara lain :
a. Meminta penundaan pembayaran utang sebesar
US$ 5,8 milyar pada pertemuan Paris Club ke-3 dan mengalokasikan pembayaran
utang luar negeri sebesar Rp 116.3 triliun.
b. Kebijakan privatisasi BUMN. Privatisasi
adalah menjual perusahaan negara di dalam periode krisis dengan tujuan
melindungi perusahaan negara dari intervensi kekuatan-kekuatan politik dan
mengurangi beban negara. Hasil penjualan
itu berhasil menaikkan pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi 4,1 %. Namun
kebijakan ini memicu banyak kontroversi, karena BUMN yang diprivatisasi dijual
ke perusahaan asing.
Di
masa ini juga direalisasikan berdirinya KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi),
tetapi belum ada gebrakan konkrit dalam pemberantasan korupsi. Padahal
keberadaan korupsi membuat banyak investor berpikir dua kali untuk menanamkan
modal di Indonesia, dan mengganggu jalannya pembangunan nasional.
Masa
Kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono Kebijakan kontroversial pertama presiden
Yudhoyono adalah mengurangi subsidi BBM, atau dengan kata lain menaikkan harga
BBM. Kebijakan ini dilatar belakangi oleh naiknya harga minyak dunia. Anggaran
subsidi BBM dialihkan ke subsidi sektor pendidikan dan kesehatan, serta
bidang-bidang yang mendukung peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Kebijakan
kontroversial pertama itu menimbulkan kebijakan kontroversial kedua, yakni Bantuan
Langsung Tunai (BLT) bagi masyarakat miskin. Kebijakan yang ditempuh untuk
meningkatkan pendapatan perkapita adalah mengandalkan pembangunan infrastruktur
massal untuk mendorong pertumbuhan ekonomi serta mengundang investor asing
dengan janji memperbaiki iklim investasi. Salah satunya adalah diadakannya
Indonesian Infrastructure Summit pada bulan November 2006 lalu, yang
mempertemukan para investor dengan kepala-kepala daerah.
Menurut Keynes, investasi merupakan faktor
utama untuk menentukan kesempatan kerja. Mungkin ini mendasari kebijakan
pemerintah yang selalu ditujukan untuk memberi kemudahan bagi investor,
terutama investor asing, yang salahsatunya adalah revisi undang-undang
ketenagakerjaan. Jika semakin banyak investasi asing di Indonesia, diharapkan
jumlah kesempatan kerja juga akan bertambah.
Pada
pertengahan bulan Oktober 2006 , Indonesia melunasi seluruh sisa utang pada IMF
sebesar 3,2 miliar dolar AS. Dengan ini, maka diharapkan Indonesia tak lagi
mengikuti agenda-agenda IMF dalam menentukan kebijakan dalam negeri. Namun
wacana untuk berhutang lagi pada luar negri kembali mencuat, setelah keluarnya
laporan bahwa kesenjangan ekonomi antara penduduk kaya dan miskin menajam, dan
jumlah penduduk miskin meningkat dari 35,10 jiwa di bulan Februari 2005 menjadi
39,05 juta jiwa pada bulan Maret 2006.
Hal
ini disebabkan karena beberapa hal, antara lain karena pengucuran kredit
perbankan ke sector riil masih sangat kurang (perbankan lebih suka menyimpan
dana di SBI), sehingga kinerja sector riil kurang dan berimbas pada turunnya
investasi. Selain itu, birokrasi pemerintahan terlalu kental, sehingga
menyebabkan kecilnya realisasi belanja Negara dan daya serap, karena
inefisiensi pengelolaan anggaran. Jadi, di satu sisi pemerintah berupaya mengundang
investor dari luar negri.
DAFTAR PUSAKA: